berbagi ilmu tidak mengurangi ilmu yang kita punya. tetapi dengan berbagi ilmu kita akan memperkaya pengetahuan dan wawasan kita.

Selasa, 24 April 2012

manusia dan pandangan hidup (cita-cita)



cita-cita
Cita-cita menurut definisi adalah keinginan, harapan, atau tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Tidak ada orang hidup tanpa cita-cita, tanpa berbuat kebajikan, dan tanpa sikap hidup. Cita-cita itu perasaan hati yang merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati. Cita-cita yang merupakan bagian atau salah satu unsur dari pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Sesuatu bisa disebut dengan cita-cita apabila telah terjadi usaha untuk mewujudkan sesuatu yang dianggap cita-cita itu.
3  Faktor yang menentukan dapat atau tidaknya seseorang mencapai cita – citanya antara lain :
- Manusia itu sendiri,
- Kondisi yang dihadapi dalam rangka mencapai cita – cita tersebut,
- Seberapa tinggi cita – cita yang ingin dicapai.
2 Faktor kondisi yang mempengaruhi tercapai tidaknya cita – citanya antara lain :

- Faktor yang menguntungkan, dan
- Faktor yang menghambat.

http://meilimeili.wordpress.com/2011/03/30/babvi202/

artikel
Cita-cita Jadi Pilot, Kuliah di Fakultas Ekonomi, Akhirnya Jadi Seniman


Oleh: Chris suryo.

Pada saat kita duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) ataupun Sekolah Dasar (SD) sebagian besar akan mudah menjawab ketika ditanyakan apa cita-citanya. Ingin menjadi apa waktu besar nanti. Keluguan usia bocah sangat wajar memandang sosok-sosok yang dianggapnya keren dan ingin ditiru. Hampir tak ada yang bercita-cita sekenanya, semua ingin menjadi orang hebat.
Profesi yang laris di mata anak-anak sebagai cita-cita misalnya adalah ingin menjadi dokter, pilot, tentara, guru, dan lain-lain. Pokoknya yang terlihat keren dan hebat. Jangankan anak-anak TK, Susan saja yang boneka cita-citanya nggak tanggung-tanggung, ingin jadi presiden. Berani taruhan, tak ada anak-anak yang bercita-cita menjadi penjual sayur, pemulung atau sopir angkot. Maaf, bukan berniat melecehkan/membanding-bandingkan profesi yang semua tahu bahwa apapun itu profesi yang halal adalah mulia, hanya berusaha memandang dari sisi keinginan/cita-cita anak-anak di usia dini.
Bahkan, namanya juga anak-anak, cita-cita itu sering berubah-ubah. Kadang hari ini ingin jadi dokter, esoknya lagi ingin jadi polisi dan sebagainya. Hal ini mulai agak “stabil” ketika mereka menginjak masa remaja ( SMP/SMA). Apa yang menjadi gambaran cita-citanya mulai sedikit lebih pasti. Namun sayangnya banyak yang abai atau kurang membimbing/memperhatikan potensi apa yang sebenarnya sesuai untuk masa depannya nanti. Meskipun ada pengajar/guru khusus sejenis Bimbingan Karier (BK), dimaklumi jika hasilnya belum tentu optimal mengingat sekian banyaknya jumlah anak didik yang harus ditangani.
Hal yang seringkali besar pengaruhnya terkait karier/masa depan pada masa-masa di atas adalah lingkungan serta peran orang tuanya sendiri. Isu-isu berkaitan dengan pandangan umum tentang profesi-profesi yang dinilai akan bersinar (tentu saja sering dihubungkan dengan materi) serta tetap berada dalam “rating” hebat atau dibutuhkan banyak orang diakui berpengaruh dalam pilihan-pilihan si anak/remaja/pemuda. Bahkan masih jamak para orang tua yang berambisi agar anaknya menjadi apa yang di idam-idamkan orang tua, meski belum tentu sesuai dengan keinginan/potensi sang anak itu sendiri.
Contoh yang sering terjadi adalah dalam hal pilihan jurusan sekolah. Banyak yang menyepelekan sekolah kejuruan, ingin agar anaknya masuk ke SMA saja. Bahkan untuk SMA/U pun, entah sistem yang ada sekarang, tapi dulu pada masa Saya SMA, jurusan IPA (A1/A2) begitu banyak menjadi rebutan. Sebuah rahasia umum bahwa jurusan IPS (A3) seolah-olah dianggap “kelas dua”, bahkan merasa “terbuang” ketika ada yang harus dimasukkan dalam kelas bahasa/sastra (A4). Mungkin karena ada kekurangtepatan sistem penjurusan dilihat dari sisi potensi siswa. Paradigma yang lazim terbentuk adalah A1/2 untuk siswa pintar, A3 sedang-sedang saja, A4 sisa-sisa (maaf). Bahkan ada cerita lucu ketika ada teman yang di tanya bapaknya”, Nak, kamu masuk kelas apa?” Ketika si anak menjawab “, A4”, bapaknya spontan tepok jidat sambil mengeluh “, Aduh, Nak, salah apa bapakmu ini?..”.
Itulah yang selama ini banyak terjadi. Sehingga pada masa “matang”nya, katakanlah telah berkarier dan memiliki profesi, mungkin hanya sekian persen saja yang merasa bahwa apa yang menjadi pekerjaannya tidak sesuai dengan “passion” ataupun cita-cita sebenarnya. Jelas karena banyak faktor yang menjadi kondisi “pemaksa”, seperti penerimaan CPNS yang selalu saja membludak peminatnya meskipun jika jujur banyak yang karena “terpaksa”, belum ada pilihan lainnya. Demikian juga banyak yang “mendobrak” kenyamanan sebelumnya karena tak ingin mengingkari apa yang sebenarnya menjadi kerinduan terkait ingin menjadi apa dia sebenarnya. Misalnya ketika seseorang waktu kecil bercita-cita menjadi pilot, karena berbagai pengaruh di atas menjalani pendidikan/kuliah di bidang Ekonomi/akuntansi karena katanya menjamin masa depan. Suatu saat dia bekerja di dunia keuangan. Namun tak menutup kemungkinan bahwa dia merasa belum “menemukan” dirinya yang sebenarnya, yang akhirnya lebih merasa “hidup” ketika menjadi seorang pelukis (seniman). Jadi, cita-citanya pilot, kuliah ekonomi, akhirnya jadi seniman. Itu salah satu contoh buat analogi saja.
Sebenarnya, pada masa sebelumnya (muda) lah sebaiknya penggalian potensi serta keinginan sejati itu dilakukan. Agar pada nantinya kita bisa berkarya sesuai dengan apa yang sebenarnya ada pada diri kita. Bagi yang sudah memperoleh itu, layak diucapkan selamat. Tapi bagi yang sudah terlanjur tak sesuai, ya sudahlah, tetap disyukuri. Jika kita ada yang saat ini merasa profesi yang sekarang kita jalani belum sesuai dengan “jiwa”, keinginan, cita-cita atau “passion”, hendaknya tidak terlalu menjadikan itu masalah. Tetaplah berusaha sebaik mungkin agar tetap profesional dalam berkarya. Jika telah merasa siap dan ingin mewujudkannya, meski keluar dari “zona nyaman” yang sekarang ini ada, silahkan dan mantapkan. Tapi jika belum siap, tetaplah bekerja dengan baik, namun jangan sampai melupakan untuk menggali segala potensi sesungguhnya siapa kita (jika belum menemukan, bisa direnungkan serta sadari). Bukan tak mungkin kita bisa berhasil meski menjalani  “dua-dua”nya. Menjadi pilot yang juga pelukis misalnya?
Sebuah hal penting adalah jangan sampai ketika kita sudah menjalani profesi sesuai dengan hati, jiwa, dan keinginan kita tapi tergoda pengaruh lain yang menjadikan kita berambisi menjadi yang lain. Misalnya saja nih, ketika kita sudah bahagia menjadi pengusaha, namun karena tergoda hal yang bukan sebenar-benarnya panggilan hati, akhirnya mencalonkan diri menjadi bupati atau ikut pilkada. Pasti sesuatu yang sebenarnya sudah kita peroleh itu menjadi hilang. Masih mending jika kesampaian atau siap ketika tidak terkabul. Kalau tidak? Banyak lho yang tertekan atau menyesal saat gagal, bahkan ada yang sampai stress dan bunuh diri. Amit-amit, jangan lah.
Salam berkarya.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/05/cita-cita-jadi-pilot-kuliah-di-fakultas-ekonomi-akhirnya-jadi-seniman/




Pendapat saya
CITA-CITA..hmm…menurut saya cita-cita adalah suatu keinginan atau harapan dimasa yang akan datang  yang ingin diwujudkan.bisa juga disebut tujuan hidup. Cita-cita setiap orang berbeda-beda, karena setiap orang memiliki pandangan hidup dan juga jalannya masing-masing sehingga tidak aturan yang mengharuskan cita-citanya seperti ini atau seperti itu.
Seperti artikel diatas. Pastinya kita pernah waktu kecil lebih tepatnya waktu Sekolah Dasar (SD) Ditanyakan oleh Ibu/Bapak guru apa cita-cita kita. Pasti jawabannya berbeda-beda dan pada umumnya menjawab dengan profesi yang hebat-hebat bagi anak kecil seperti “ingin menjadi dokter pak” atau “ingin jadi polisi bu” dan sebagainya menyebutkan berbagai macam profesi. Tapi tidak semuanya seperti itu menyebutkan profesi-profesi yang hebat-hebat. Pastilah ada sebagian kecil yang berkata “ saya ingin menjadi seperti bapak saya” yang menurut dia bapaknya lah orang yang terhebat dan menjadi tauladan bagi mereka.
Namun menurut saya semakin kita dewasa semakin terlihat apakah cita-cita kita dahulu akan terwujud atau tidak. Kebanyakan cita-cita kita dahulu berbeda dengan keadaan sekarang. Contohnya jika dahulu orang tersebut bercita-cita ingin menjadi dokter ternyata saat dewasanya ia malah menjadi pengusaha. Hal ini tidak aneh karena keinginan kita dapat sewaktu-waktu berubah kecuali ia memiliki keinginan yang sangat kuat. Biasanya hal ini dipengaruhi  juga oleh factor lingkungan sekitar. Iya factor lingkungan sangat mempengaruhi cita-cita kita. Karena factor lingkungan dapat membantu kita menggapai cita-cita yang kita inginkan atau bahkan lingkungan dapat menghambat penggapaian cita-cita kita.
Sebagai contoh factor lingkungan mempengaruhi cita-cita kita adalah.apabila dahulu kita bercita-cita ingin menjadi polisi namun orang tua tidak menghendaki dan menyuruh kita menjadi seorang dokter sehingga kita mengikuti apa yang orang tua inginkan . Dalam contoh tersebut terlihat bahwa factor lingkungan mempengaruhi cita-cita kita. Cita-cita ingin menjadi polisi namun malah menjadi dokter. Ada lagi, misalkan dulu kita bercita-cita ingin menjadi dokter namun karena biaya untuk menjadi dokter sangat mahal sehingga kita hanya memendam cita-cita itu.
Cita-cita dapat terwujud abila kita memiliki keinginan yang kuat dan juga kemauan untuk bekerja keras agar dapat mewujudkannya. Selain itu factor lingkungan haruslah mendukung karena factor lingkungan memegang peranan penting dalam menggapai cita-cita. Apabila factor lingkungan mendukung maka semakin mudah kita mewujudkan cita-cita kita. Namun apabila factor lingkungan kita tidak mendukung maka akan menghabat penggapaian cita-cita kita, namun kita masih bisa menggapai cita-cita tersebut apabila kita memiliki keinginan yang kuat dan mau bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita kita.
Jadi……pesan saya janganlah kalian memiliki banyak cita-cita atau banyak berangan-angan namun kalian tidak mau bekerja keras, karena percuma banyak cita-cita yang ingin diwujudkan namun tidak mau usaha yang ujung-ujungnya nyesek cita-citanya tidak ada yang tercapai. Lebih baik hanya memiliki satu cita-cita, namun untuk mewujudkan cita-cita tersebutkita berusaha dan bekerja keras sehingga kita dapat nenggapai cita-cita tersebut.
Salam
SOLIDARITY FOREVER.

1 comments:

Benalia Hulu mengatakan...

saya setuju dengan pendapat anda di blogspot ini.
tapi yang menjadi pertanyaan;
1. cita-cita itu dapat dikategorikan sebagai jaminan hidup untuk masa depan atau tidak?

Posting Komentar